MUTU PENDIDIKAN DISEKOLAH
Salah satu indikator keberhasilan
kepemimpinan seorang kepala sekolah diukur dari mutu pendidikan yang ada di
sekolah yang dipimpinnya. Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output
pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input
pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi
sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu
mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah yang dapat
diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya,
inovasinya, dan moral kerjanya.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu
kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai
dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Surya,
2002:12).
Proses pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang
akan ada dalam sekolah itu sendiri dan
lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth
(1992:35) dalam bukunya Your Child’s
Scholl, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang
bermutu, yakni keefektifan kepemimpinan kepala
sekolah; partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf; proses belajar-mengajar yang efektif;pengembangan staf yang terpogram; kurikulum yang relevan; memiliki visi
dan misi yang jelas; iklim sekolah
yang kondusif; penilaian diri terhadap
kekuatan dan kelemahan; komunikasi
efektif baik internal maupun eksternal; serta keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik.
Berdasarkan konsep mutu pendidikan tersebut maka dapat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada
penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor
proses pendidikan.Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam
batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis
meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient
condition to improve student achievement).
Selama tahun 2002 dunia pendidikan nasional ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, serempak, dan
dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang
satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung
pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas
(PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/CBC),
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir Nasional (UAN) pengganti
EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan pendidikan kabupaten/kota. Setiap
pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri. Fenomena yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki sifat yang
sama, yakni menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih jauh,
perubahan yang “berbasis” itu umumnya dari atas ke bawah; dari pusat ke daerah; dari
pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah; dari pemerintah ke masyarakat; dari sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah
lain yang populer dan memiliki nuansa yang sama dengan “berbasis” adalah
pemberdayaan (empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas
(bottom up), dan sejenisnya.
Simak saja label-label perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam dunia
pendidikan nasional (kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen berbasis
sekolah (school based management), peningkatan mutu berbasis sekolah (school
based quality improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence based
curriculum), pengajaran/pelatihan berbasis kompetensi (competence based
teaching/training), pendidikan berbasis luas (broad based education),
pendidikan berbasis masyarakat (community based education), evaluasi berbasis
kelas (classroom based evaluation), evaluasi berbasis siswa (student based
evaluation) dikenal juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan
berbasis lokal (local based educational management), pembiayaan pendidikan
berbasis masyarakat (community based educational financing), belajar berbasis
internet (internet based learning), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
dan entah apa lagi.
Supriadi (2002:17) mengatakan: “orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu
bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam
pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide
dikembangkan hingga dilaksanakan”. Sejak awal, berbagai kondisi perlu
diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi
lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang
mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu
memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan
realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang
melaksanakannya.
Banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini kurang
dihayati secara penuh oleh pelaksananya (termasuk kepala sekolah), di samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba
instan, targetnya tidak realistik, didasari asumsi yang linier seakan-akan
suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan dan secara implisit
dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan. Maka sudah
barang tentu inovasi model seperti ini mengandung risiko kegagalan yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar