Shinta melangkah ke dalam kampus. Meski usianya kini tak muda lagi, ia
tetep ingin menyelesaikankuliahnya, Di usia yang ke 23 tahun, ia kini baru
semester enam. Maklum tiga tahun ia di dera kebutaan total dan ke lumpuhan.
Setelah secara mengejutkan ia berhasil sembuh setelah mengalami
kecelakaan kecil di kamar mandi, sejak saat itu Shinta tekun mengejar
ketinggalannya.
Namun begiti, luka hati masa lalu membuatnya takut mengenal lelaki. Ia
lebih suka bergaul dengan sesama cewek, dan menjauh dari lirikan lelaki.
Akhirnya ia lulus SMU dengan aman meski tanpa cinta. Ia memasuki perguruan tinggi
juga dengan hati yang beku dan jiwa yang dingin. Satu-satunya motiasi yang
paling kuatdalam dirinya adalah mengejar ketinggalannya.
Namun di semester enam ini, Shinta merasa ada yang kurang dalam hidupnya, kehangatan seorang lelaki.
Sementara kakaknya sudah menikah dan memiliki anak satu. Apakah ia harus hidup
sendiri terus.
Sebetulnya banyak cowok yang menaruh hati pada Shinta. Namun kebekuan
hatinya membuat banyak cowok mundur teratur. Jarang yang tahu masa lalu Shinta.
Karena cewek itu amat tertutup.
Hinngga suatu hari, Shinta terpeleset, ketikalewat tangga darurat.
Untunglah di belakangnya berjalan cowok keren, beda jurusan itu. Yang
dikenalnya sejak pertama kali ia masuk kampus.
“ Terima kasih, Lingga.!”
“Kau tak apa-apa, Shin?”
“Sedikit lecet, hanya dua tangga. Untung ada kamu. Kalau tidak, wah,
entalah...”
“Biasanya kamu lewat lift?”
“Sejak ada kemacetan beberapa hari lalu aku takut lewat lift.”
“Tapi lewat tangga butuh kondisi yang fit dan cukup kuat. Apa kau lagi
kurang sehat?”
“Engga tahu juga. Mungkin karena keletihan aja. Makasih Lingga...”
“Duduklah dulu, Shinta , istirahatlah, aku temani. Toh kuliah perdana
masih lama. Lagipula kampus ini nanti siang ada tamu. Mungkin para dosen lagi
persiapan menyambut tamu pejabat pemerintah yang akan datang. Jadi santai saja.
Toh, ini jalur lirong. Jarang yang lewat tangga darurat ini.”
Shinta duduk,
dan lingga Putra di dekatnya, menatap gadis cantik dengan rambut lurus sebahu
itu.”
Gadis cantik
ini sudah di kenalnya sejak mereka semester satu, tapi sikapnya selalu dingin
terhadap laki-laki. Selama ini ia dengan cermat mengamati Shinta. Namun tak ada
satupun teman cowok yang berdekatan dengannya. Makanya tadi ketika Lingga tak
sengaja melihat Shinta sendirian memasuki ruang tangga darurat menuju lantai
tujuh.
“Menurutku, meski sesekali lift macet, namun jika ingin naik ,
sebaiknya kau sabar menunggu lift. Jangan lewat jalur ini, Terlalu berat,
kecuali turun. Itupun butuh kehati-hatian. Jika aku tak iseng mengikitimu , kau
sudah jatuh ke bawah, bisa patah tulang kamu , Shinta...”
“Ya, aku ceroboh.”
“Aku heran padamu. Shinta.”
“Oh, ya?”
“Mengapa kau jarang berteman dengan cowok?” Lingga memancing. Ingin
tahu.
“Ah, mereka rata-rata usianya jauh dibawahku. Tak enak rasanya.”
“Tapi kau juga jarang pulang bersama lelaki yang lebih tua darimu,
kan?”
“Aku suka sendiri, Lingga.”
“emang berapa usiamu sih?”
“Masa kamu tidak tahu....”
“Enggak, aku hanya tahu, kau di semester enam. Dan sebentar lagi kau
semester tujuh. Hanya iti saja..”
“Usiaku sebetulnya menjelang 24 tahun, kadang aku malu menyebut usiaku.
Sebab rata-rata temanku baru 20 tahun atau dua puluh satu. Aku sudah
melewati angka dua puluh tiga tahun. Dua
bulanlagi aku sudah 24 tahun . Jika selesaikan kuliah tepat waktu nanti, usiaku
sudah 25 atau 26 tahun.”
“Sama denganku...”
“Aku pernah sakit, Lingga.”
“Oh, ya? Sakit apa?”
“Buta dan lumpuh total. Ak pernah jatuh, dan kepala bagian belakangku
terkena benuran. Setalah itu aku buta selama tiga tahun. Kakiku lumpuh, sulit
kugerakkan.
“Tapi kau sembuh?”
“Ya, enam tahun lalu, disaat usiaku 17 tahun, mau menginjak 18 tahun.”
“Berobat kemana?”
“Jatuh di kamar mandi, kepalaku bagian belakang membentur dinding kamar
mandi, eh, malah aku bisa melihat kembali.”
“Lingga bengong. Ia menatap Shinta. Namun gadis itu kelihatan serius.
Tidak ada tanda-tanda bahwa ia sekedar cerita.
Shinta
menunduk. Menarik nafas panjang. Bayangan sedih melintas saat ia buta total dan
lumpuh kakinya. Ia seperti kehilangan gairah hidup.
Lingga
tersenyum luruh. Tak banyak tahu masa lalu gadis itu. Namun hari ini Lingga
mulai bisa menguak kehidupan gadis pendiam yang cantik dengan senyum penuh
misteri itu.
“Shinta..”
“ya?”
“Kau pernah pacaran?”
“belum...”
“Masa?”
“Aku punya kenangan pahit terhadap cowok. Susah untuk menghilangkan
kenangan itu. Bahkan jatuh cintapun, kenangan pahit itu membuatku ketakutan,
trauma!”
“Begitukah?”
“Ya, sebuah catatan hitam untukku.”
“Jadi itu yang membuatmu dingin?”
“Aku takut, Lingga. Takut sekali.”
“Kau mau menceritakannya padaku?”
“Aku tak bisa...”
“Masalahnya apa?”
“Sudahlah, menguak kenangan lama hanya membuatku menangis, sebab
setelah itu aku kecelakaan dan buta total, lumpuh kakiku. Aku bahkan sempat
kehilangan hidupku. Nyaris aku tak mampu lagi melanjutkan pendidikanku...”
“Sejak itukah kau tak mau kenal lelaki?”
“Bukan tak mau kenal. Buktinya aku sama kamu bisa terbuka, berdua di
tempat sepi, bukankah aku percaya sama kamu?”
“Tapi baru sekarang kau mau dekat denganku, bukan? Selama ini kau
sering menghindariku. Kita memang kenal, tapi ngobrol berdua baru sekarang
ini...”
“Aku butuh teman sepertimu, yang bisa kupercaya, Lingga. Dan untuk mempercayai
cowok, aku butuh waktu. Berapa lama kita mengenal?”
“Tiga tahun, semenjak kita masuk ke kampus ini. Masih ingat?”
“Ya, butuh tiga tahun untuk menilaimu dengan benar. Dan sekarang
agaknya, aku butuh dekat dengan lelaki.
“Kau mau membuka hatimu?”
“Belum, aku hanya ingin punya sahabat saja. Dan itu kau, jika kau tak
keberatan.”
“Tiga tahun sudah cukup untuk tidak melakukan kesalahan. Kurasa aku tak
salah menilaimu..”Kata Shinta jujur.
“Kalau ternyata salah...?
“Berarti kau seorang pemain sandiwara berbakat.”Kata Shinta getir.
“Apa yang kau tahu tentang diriku?”
“Tak akan kukatakan. Jika kau ingin bersahabat denganku, aku tak
keberatan . Bukankah semuanya harus dimulai dari saling empati, saling
menghargai ?”
“Benar ....”
“Dari sini kita mulai. Kita lihat saja apa yang kita dapatkan di hari
esok.”
“Bisa temukan cinta ?”
“Mengapa kau berharap itu ?”
“Aku , entahlah ....”
“ Katakan Lingga , katakan dengan jujur , mengapa kau berharap temukan
cinta? Bukankah itu berarti kau harus siap tersakiti juga ?”
“Kurasa begitu , aku mengagumimu.”
“Apa yang kau harapkan dariku ?”
“Tidak ada , hanya sebuah hati....”
“Hatiku hanya satu, dan sudah lama terluka. Sulit sembuhnya .”
“Aku akan mencoba mengobatinya .”
“Bisakah ?”
“Aku belum mencobanya ....”
“Jangan terlalu berharap. Nanti sakit.?
“Tapi tanpa harapan , hidup tak indah.”
“Benar?”
“Aku suka menikmati ayunan llangkahmu. Tatapanmu selalu luruh , tanpa
makna.”
“Aku kehilangan makna hidup. Mungkinkah aku bisa menemukannya
bersamamu?”
“Siapa tahu, bukan ?”
“Kita bisa melangkah bersama
dulu , Lingga , dengan hati bersih. Yang kita temukan di esok hari , kita coba
rajut bersama .”
“ Aku setuju ....”
“Terima kasih.”
“Bagaimana jika kumulai dengan sebuah tawaran? Kita makan bersama,
maukah kau mengabulkan permintaanku?”
“Dari hasil keringatmu?”
“Iya, aku habis terima gaji.”
“Baiklah ,,,, tak ada salahnya , kan ? tapi ingat Lingga. Jangan kau
hancurkan kepercayaanku padamu.”
“Tentu ,aku tahu kok. Tak mudah mendapatkan kepercayaan darimu.”
“Aku juga tak butuh banyak teman saja. Satu juga cukup, jika ia bisa
dipercayai.”
“ Terima kasih atas kepercayaanmu.”
`Kemudian
mereka pun pergi ke rumah makan.
Sebuah rumah makan yang tenang dan tak banyak pengunjung, karena masih
pagi, mereka duduk. Beberapa meja masih kosong. Jam di tangan Lingga Putra juga
baru menunjukan angka sembilan lebih dua puluh menit.
“Kita tak ikut mata kuliah jam pertama?”
Tanya Shinta lirih.
Ia menatap
Lingga yang sedang menulis daftar menu yang disodorkan pelayan.
“Tak ada dosen, aku sudah dengar isunya dosen lagi ada rapat kerja
dengan deputi mentri. Hanya ada catatan, itu bisa kita fotokopy nantinya.”jawab
Lingga.
“Kau bisa cabut seperti saat ini?”
“jarang juga sih ...”
“Tapi sekarang kau cabut?”
“Demi persahabatan kita. Harus dimulai, nanti kita selalu ragu-ragu.
Jujur saja sudah lama aku menantikan kasempatan seperti ini tapi baru sekarang
kau berikan waktu untukku.
Setelah selesai makan, mereka meluncur ke arah Ancol, sekedar mencari
ketenangan, karena pagi itu mereka memang sedang ingin berdua saja. Ingin
menenangkan perasaan.
Ombak berdebur riuh,sebagai musik alam. Laut membiru. Mentari berada di
langit, cemerlang sinarnya. Segugus awan perak melintas di sebelahnya. Beberapa
ekor burung camar beterbangan di atas permukaan laut. Sudah lama sekali Shinta
tak menikmati suasana indah dan damai seperti itu. Lingga melempar batu kecil
ke tengah laut. Sementara Shinta tertegun menatap hamparan laut lepas yang
membiru. Jarak mereka agak berjauhan.
Kemudian
lingga pun mendekat ke dekat Shinta, cowok itu terus menatap gadis yang di
sebelahnya itu.
“Shin...”
“ya?”
“Aku mencintaimu.”
“ Jangan menyesal, Lingga.”
“Tidak akan terjadi itu. Sudah lama aku tak perduli siapa kau. Aku
sayang kamu,”desah cowok keren dengan penampilan sederhana itU. Tak ada kesan
glamour. Ia lelaki biasa. Namun dari kesederhanaan itu, Shinta merasakan
kelembutan yang tulus.