Entri Populer

Sabtu, 05 Januari 2013

GALAU SANG PERAWAN




Shinta melangkah ke dalam kampus. Meski usianya kini tak muda lagi, ia tetep ingin menyelesaikankuliahnya, Di usia yang ke 23 tahun, ia kini baru semester enam. Maklum tiga tahun ia di dera kebutaan total dan ke lumpuhan.
Setelah secara mengejutkan ia berhasil sembuh setelah mengalami kecelakaan kecil di kamar mandi, sejak saat itu Shinta tekun mengejar ketinggalannya.
Namun begiti, luka hati masa lalu membuatnya takut mengenal lelaki. Ia lebih suka bergaul dengan sesama cewek, dan menjauh dari lirikan lelaki. Akhirnya ia lulus SMU dengan aman meski tanpa cinta. Ia memasuki perguruan tinggi juga dengan hati yang beku dan jiwa yang dingin. Satu-satunya motiasi yang paling kuatdalam dirinya adalah mengejar ketinggalannya.
Namun di semester enam ini, Shinta merasa ada yang kurang  dalam hidupnya, kehangatan seorang lelaki. Sementara kakaknya sudah menikah dan memiliki anak satu. Apakah ia harus hidup sendiri terus.
Sebetulnya banyak cowok yang menaruh hati pada Shinta. Namun kebekuan hatinya membuat banyak cowok mundur teratur. Jarang yang tahu masa lalu Shinta. Karena cewek itu amat tertutup.
Hinngga suatu hari, Shinta terpeleset, ketikalewat tangga darurat. Untunglah di belakangnya berjalan cowok keren, beda jurusan itu. Yang dikenalnya sejak pertama kali ia masuk kampus.
“ Terima kasih, Lingga.!”
“Kau tak apa-apa, Shin?”
“Sedikit lecet, hanya dua tangga. Untung ada kamu. Kalau tidak, wah, entalah...”
“Biasanya kamu lewat lift?”
“Sejak ada kemacetan beberapa hari lalu aku takut lewat lift.”
“Tapi lewat tangga butuh kondisi yang fit dan cukup kuat. Apa kau lagi kurang sehat?”
“Engga tahu juga. Mungkin karena keletihan aja. Makasih Lingga...”
“Duduklah dulu, Shinta , istirahatlah, aku temani. Toh kuliah perdana masih lama. Lagipula kampus ini nanti siang ada tamu. Mungkin para dosen lagi persiapan menyambut tamu pejabat pemerintah yang akan datang. Jadi santai saja. Toh, ini jalur lirong. Jarang yang lewat tangga darurat ini.”
Shinta duduk, dan lingga Putra di dekatnya, menatap gadis cantik dengan rambut lurus sebahu itu.”
Gadis cantik ini sudah di kenalnya sejak mereka semester satu, tapi sikapnya selalu dingin terhadap laki-laki. Selama ini ia dengan cermat mengamati Shinta. Namun tak ada satupun teman cowok yang berdekatan dengannya. Makanya tadi ketika Lingga tak sengaja melihat Shinta sendirian memasuki ruang tangga darurat menuju lantai tujuh.
“Menurutku, meski sesekali lift macet, namun jika ingin naik , sebaiknya kau sabar menunggu lift. Jangan lewat jalur ini, Terlalu berat, kecuali turun. Itupun butuh kehati-hatian. Jika aku tak iseng mengikitimu , kau sudah jatuh ke bawah, bisa patah tulang kamu , Shinta...”
“Ya, aku ceroboh.”
“Aku heran padamu. Shinta.”
“Oh, ya?”
“Mengapa kau jarang berteman dengan cowok?” Lingga memancing. Ingin tahu.
“Ah, mereka rata-rata usianya jauh dibawahku. Tak enak rasanya.”
“Tapi kau juga jarang pulang bersama lelaki yang lebih tua darimu, kan?”
“Aku suka sendiri, Lingga.”
“emang  berapa usiamu sih?”
“Masa kamu tidak tahu....”
“Enggak, aku hanya tahu, kau di semester enam. Dan sebentar lagi kau semester tujuh. Hanya iti saja..”
“Usiaku sebetulnya menjelang 24 tahun, kadang aku malu menyebut usiaku. Sebab rata-rata temanku baru 20 tahun atau dua puluh satu. Aku sudah melewati  angka dua puluh tiga tahun. Dua bulanlagi aku sudah 24 tahun . Jika selesaikan kuliah tepat waktu nanti, usiaku sudah 25 atau 26 tahun.”
“Sama denganku...”
“Aku pernah sakit, Lingga.”
“Oh, ya? Sakit apa?”
“Buta dan lumpuh total. Ak pernah jatuh, dan kepala bagian belakangku terkena benuran. Setalah itu aku buta selama tiga tahun. Kakiku lumpuh, sulit kugerakkan.
 “Tapi kau sembuh?”
“Ya, enam tahun lalu, disaat usiaku 17 tahun, mau menginjak 18 tahun.”
“Berobat kemana?”
“Jatuh di kamar mandi, kepalaku bagian belakang membentur dinding kamar mandi, eh, malah aku bisa melihat kembali.”
“Lingga bengong. Ia menatap Shinta. Namun gadis itu kelihatan serius. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia sekedar cerita.
Shinta menunduk. Menarik nafas panjang. Bayangan sedih melintas saat ia buta total dan lumpuh kakinya. Ia seperti kehilangan gairah hidup.
Lingga tersenyum luruh. Tak banyak tahu masa lalu gadis itu. Namun hari ini Lingga mulai bisa menguak kehidupan gadis pendiam yang cantik dengan senyum penuh misteri itu.
“Shinta..”
“ya?”
“Kau pernah pacaran?”
“belum...”
“Masa?”
“Aku punya kenangan pahit terhadap cowok. Susah untuk menghilangkan kenangan itu. Bahkan jatuh cintapun, kenangan pahit itu membuatku ketakutan, trauma!”
“Begitukah?”
“Ya, sebuah catatan hitam untukku.”
“Jadi itu yang membuatmu dingin?”
“Aku takut, Lingga. Takut sekali.”
“Kau mau menceritakannya padaku?”
“Aku tak bisa...”
“Masalahnya apa?”
“Sudahlah, menguak kenangan lama hanya membuatku menangis, sebab setelah itu aku kecelakaan dan buta total, lumpuh kakiku. Aku bahkan sempat kehilangan hidupku. Nyaris aku tak mampu lagi melanjutkan pendidikanku...”
“Sejak itukah kau tak mau kenal lelaki?”
“Bukan tak mau kenal. Buktinya aku sama kamu bisa terbuka, berdua di tempat sepi, bukankah aku percaya sama kamu?”
“Tapi baru sekarang kau mau dekat denganku, bukan? Selama ini kau sering menghindariku. Kita memang kenal, tapi ngobrol berdua baru sekarang ini...”
“Aku butuh teman sepertimu, yang bisa kupercaya, Lingga. Dan untuk mempercayai cowok, aku butuh waktu. Berapa lama kita mengenal?”
“Tiga tahun, semenjak kita masuk ke kampus ini. Masih ingat?”
“Ya, butuh tiga tahun untuk menilaimu dengan benar. Dan sekarang agaknya, aku butuh dekat dengan lelaki.
“Kau mau membuka hatimu?”
“Belum, aku hanya ingin punya sahabat saja. Dan itu kau, jika kau tak keberatan.”
“Tiga tahun sudah cukup untuk tidak melakukan kesalahan. Kurasa aku tak salah menilaimu..”Kata Shinta jujur.
“Kalau ternyata salah...?
“Berarti kau seorang pemain sandiwara berbakat.”Kata Shinta getir.
“Apa yang kau tahu tentang diriku?”
“Tak akan kukatakan. Jika kau ingin bersahabat denganku, aku tak keberatan . Bukankah semuanya harus dimulai dari saling empati, saling menghargai ?”
“Benar ....”
“Dari sini kita mulai. Kita lihat saja apa yang kita dapatkan di hari esok.”
“Bisa temukan cinta ?”
“Mengapa kau berharap itu ?”
“Aku , entahlah ....”
“ Katakan Lingga , katakan dengan jujur , mengapa kau berharap temukan cinta? Bukankah itu berarti kau harus siap tersakiti juga ?”
“Kurasa begitu , aku mengagumimu.”
“Apa yang kau harapkan dariku ?”
“Tidak ada , hanya sebuah hati....”
“Hatiku hanya satu, dan sudah lama terluka. Sulit sembuhnya .”
“Aku akan mencoba mengobatinya .”
“Bisakah ?”
“Aku belum mencobanya ....”
“Jangan terlalu berharap. Nanti sakit.?
“Tapi tanpa harapan , hidup tak indah.”
“Benar?”
“Aku suka menikmati ayunan llangkahmu. Tatapanmu selalu luruh , tanpa makna.”
“Aku kehilangan makna hidup. Mungkinkah aku bisa menemukannya bersamamu?”
“Siapa tahu, bukan ?”
“Kita bisa melangkah  bersama dulu , Lingga , dengan hati bersih. Yang kita temukan di esok hari , kita coba rajut bersama .”
“ Aku setuju ....”
“Terima kasih.”
“Bagaimana jika kumulai dengan sebuah tawaran? Kita makan bersama, maukah kau mengabulkan permintaanku?”
“Dari hasil keringatmu?”
“Iya, aku habis terima gaji.”
“Baiklah ,,,, tak ada salahnya , kan ? tapi ingat Lingga. Jangan kau hancurkan kepercayaanku padamu.”
“Tentu ,aku tahu kok. Tak mudah mendapatkan kepercayaan darimu.”
“Aku juga tak butuh banyak teman saja. Satu juga cukup, jika ia bisa dipercayai.”
“ Terima kasih atas kepercayaanmu.”
`Kemudian mereka pun pergi ke rumah makan.
Sebuah rumah makan yang tenang dan tak banyak pengunjung, karena masih pagi, mereka duduk. Beberapa meja masih kosong. Jam di tangan Lingga Putra juga baru menunjukan angka sembilan lebih dua puluh menit.
“Kita tak ikut mata kuliah jam pertama?”
Tanya Shinta lirih.
Ia menatap Lingga yang sedang menulis daftar menu yang disodorkan pelayan.
“Tak ada dosen, aku sudah dengar isunya dosen lagi ada rapat kerja dengan deputi mentri. Hanya ada catatan, itu bisa kita fotokopy nantinya.”jawab Lingga.
“Kau bisa cabut seperti saat ini?”
“jarang juga sih ...”
“Tapi sekarang kau cabut?”
“Demi persahabatan kita. Harus dimulai, nanti kita selalu ragu-ragu. Jujur saja sudah lama aku menantikan kasempatan seperti ini tapi baru sekarang kau berikan waktu untukku.
Setelah selesai makan, mereka meluncur ke arah Ancol, sekedar mencari ketenangan, karena pagi itu mereka memang sedang ingin berdua saja. Ingin menenangkan perasaan.
Ombak berdebur riuh,sebagai musik alam. Laut membiru. Mentari berada di langit, cemerlang sinarnya. Segugus awan perak melintas di sebelahnya. Beberapa ekor burung camar beterbangan di atas permukaan laut. Sudah lama sekali Shinta tak menikmati suasana indah dan damai seperti itu. Lingga melempar batu kecil ke tengah laut. Sementara Shinta tertegun menatap hamparan laut lepas yang membiru. Jarak mereka agak berjauhan.
Kemudian lingga pun mendekat ke dekat Shinta, cowok itu terus menatap gadis yang di sebelahnya itu.
“Shin...”
“ya?”
“Aku mencintaimu.”
“ Jangan menyesal, Lingga.”
“Tidak akan terjadi itu. Sudah lama aku tak perduli siapa kau. Aku sayang kamu,”desah cowok keren dengan penampilan sederhana itU. Tak ada kesan glamour. Ia lelaki biasa. Namun dari kesederhanaan itu, Shinta merasakan kelembutan yang tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar